Poin Krusial Revisi UU KPK: Dari Dewan Pengawas Hingga SP3


Poin Krusial Revisi UU KPK: Dari Dewan Pengawas Hingga SP3 Revisi UU KPK memunculkan keberadaan Dewan Pengawas bentukan DPR yang akan memonitor kinerja pimpinan dan penanganan kasus di KPK. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) sepakat mengambil inisiatif melakukan revisi terhadap Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Para penggawa kompleks parlemen itu juga telah menyepakati draf rancangan revisi UU KPK dalam rapat Baleg. Seluruh fraksi menyatakan setuju di tingkat Paripurna.

Inisiatif revisi UU KPK ini menimbulkan reaksi dari lembaga antirasuah sendiri. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan KPK kini berada di ujung tanduk dengan mencuatnya inisiatif revisi UU KPK.


Revisi UU KPK juga dipermasalahkan oleh banyak pihak dari kalangan masyarakat sipil, akademisi, hingga lembaga swadaya masyarakat. Bahkan revisi ini sempat disebut pelemahan KPK secara terstruktur, sistematis dan masif.

Hal itu lantaran terdapat sejumlah poin krusial yang membuat KPK seolah kehilangan taring bilamana Presiden Joko Widodo menyetujui pembahasan revisi UU KPK.


Poin Pertama adalah terkait dengan pembentukan dewan pengawas KPK dan menghilangkan penasihat KPK. Sama seperti pimpinan KPK, Dewan Pengawas terdiri dari lima orang dengan empat wakil dan satu pimpinan.

Berdasarkan draf revisi UU KPK Pasal 37 B Dewan Pengawas bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberikan izin penyadapan, dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK.


Kemudian, dewan pengawas juga bertugas melaksanakan sidang untuk memeriksa dugaan pelangggaran etik, melakukan evaluasi kerja pimpinan, hingga menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran kode etik dari pegawai dan pimpinan KPK.

Di pasal 37E Dewan Pengawas dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Seperti halnya pengangkatan Pimpinan KPK, Dewan Pengawas dipilih melalui panitia seleksi yang dibentuk oleh Presiden.

Peneliti hukum di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menilai bahwa pembentukan dewan pengawas ini tidak diperlukan karena berpotensi membuat kinerja KPK tidak leluasa dan melemahkan KPK. Independensi KPK pun dipertaruhkan dengan keberadaan Dewan Pengawas.

"Dewan Pengawas tertulis dipilih oleh DPR nanti siapa yang masuk ke situ, independensi KPK yang dipertaruhkan dengan pembentukan dewan pengawas," kata Bivitri kepada CNNIndonesia.com, Jumat (5/9).

Poin Krusial Revisi UU KPK: Dari Dewan Pengawas Hingga SP3Aksi tolak revisi UU KPK. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Masalah selanjutnya adalah penyadapan. Pada pasal 12 B draf revisi UU KPK tertulis bahwa penyadapan dilaksanakan atas izin tertulis Dewan Pengawas. Selanjutnya, Dewan Pengawas dapat memberikan ataupun tidak izin penyadapan.

Hasil penyadapan harus dilaporkan dipertanggungjawabkan kepada pimpinan KPK dan Dewan Pengawas paling lambat 14 hari kerja setelah penyadapan selesai.

Hal ini, menurut Bivitri, berpotensi menimbulkan kebocoran informasi terkait penyadapan dan penindakan yang dilakukan KPK. Menurut dia penyadapan yang dilakukan KPK itu sudah diawasi, diaudit, dan diatur dengan standar prosedur operasional yang khusus.

"Kalau izin penyadapan itu diberikan oleh Dewan Pengawas, ini yang bisa berbahaya. Tidak hanya penyadapan, saya sangat mengkhawatirkan adanya dewan pengawas akan melemahkan KPK karena seluruh kerjanya bisa diintervensi oleh dewan yang dibentuk oleh DPR. Padahal pengawasan tida selalu dalam bentuk lembaga tapi juga bisa dibentuk dalam sistem," papar Bivitri.

Masalah krusial lainnya adalah soal KPK yang diberikan kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan suatu kasus. Masalah itu diatur dalam Pasal 40 yang secara garis besar bahwa KPK bisa menghentikan penyidikan bilamana ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan suatu penyidikan.


Penghentian penyidikan dalam bentuk Surat Penghentian Penyidikan atau yang biasa disebut SP3 juga harus dipublikasi dan dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat satu minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.

Poin Krusial Revisi UU KPK: Dari Dewan Pengawas Hingga SP3DPR di tingkat paripurna sepakat menginisiatifkan revisi UU KPK. (CNN Indonesia/Abi Sarwanto)

Menurut Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari hal ini membuka kemungkinan tawar menawar politik dalam penyelesaian suatu perkara korupsi. Bukan tidak mungkin perkara besar yang melibatkan aktor-aktor besar dapat dihentikan dengan intervensi dan lobi-lobi politik.

"Kalau ada SP3 ada perkara besar yang secara politis melibatkan orang-orang politik penting berkekuatan luar biasa, itu bisa terjadi tawar-menawar politik dengan meng-SP3 kan kasus itu. Untuk kasus besar, SP3 itu malah berbahaya karena tekanannya akan luar biasa," kata Feri kepada CNNIndonesia.com.

"Sekarang kalau diberi SP3 ada satu ruang yang penting agar mereka habis-habisan berjuang di situ agar kasusnya di SP3," lanjut Feri.

Selanjutnya terkait dengan penuntutan yang harus koordinasi dengan kejaksaan. Revisi UU KPK mengatur bahwa proses penuntutan harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kejaksaan Agung sehingga KPK tidak independen lagi dalam menjalankan fungsinya.


Pada Pasal 12A revisi UU KPK diatur bahwa koordinasi pelaksanaan tugas penuntutan dilakukan karena Kejaksaan Agung RI merupakan lembaga tunggal yang berwenang melakukan penuntutan. Alhasil, KPK tidak dianggap sebagai lembaga penegak hukum yang berwenang melakukan penuntutan.

Feri menilai hal ini mencederai semangat pembentukan UU KPK. Menurutnya KPK ini lembaga khusus yang dibentuk karena kegagalan aparat penegak hukum lain yakni kejaksaan dan kepolisian dalam pemberantasan korupsi.

"Kita melihatnya lebih mirip sebagai upaya terstruktur, sistematif, dan masif," kata Feri.

Selain itu juga draf revisi UU KPK mengatur bahwa penyelidik hanya boleh dari Kepolisian. Hal itu diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 43A. Padahal, Penyelidik mempunyai fungsi penting dalam melakukan penyelidikan dalam rangka menemukan kasus sebelum penetapan seseorang menjadi tersangka. Diketahui, Selama ini penyelidik KPK merupakan Pegawai-pegawai yang direkrut secara independen sebagai Pegawai tetap dari berbagai keahlian.

Poin Krusial Revisi UU KPK: Dari Dewan Pengawas Hingga SP3Draf usulan revisi UU KPK sudah disodorkan ke Presiden Jokowi. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)

Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia dengan ketentuan tersebut ke depannya lembaga antirasuah tak bisa mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. Padahal Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2016 sudah menegaskan kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik di luar dari institusi Kepolisian atau Kejaksaan.


"Lain hal dari itu penting untuk mencegah adanya loyalitas ganda ketika penyidik yang berasal dari insitusi lain bekerja di KPK," ujarnya.

Masih banyak lagi poin krusial dari revisi UU KPK yang dinilai dapat melemahkan lembaga antirasuah. Misalnya, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, dan kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.

Bola liar revisi UU KPK kini berada di tangan Presiden Jokowi. DPR telah menyerahkan draf revisi UU KPK ke Istana. Jokowi punya kuasa untuk sepakat atau menolak revisi UU KPK yang menjadi inisiatif DPR.


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190906153812-12-428193/poin-krusial-revisi-uu-kpk-dari-dewan-pengawas-hingga-sp3
Share:

Recent Posts